rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

29 March 2011

Citra Pajak


Kasus yang melibatkan mantan pegawai pajak, Gayus Tambunan, mungkin telah berlalu.

Namun, efek dari kasus ini belumlah berakhir. Ada semacam dugaan di benak sebagian masyarakat bahwa kasus ini telah mengakibatkan runtuhnya kepercayaan masyarakat kepada institusi Ditjen Pajak maupun institusi penegak hukum lainnya. Padahal, bisnis utama di Ditjen Pajak adalah kepercayaan. Kepercayaan dari masyarakat (wajib pajak) merupakan kunci utama keberhasilan penerimaan pajak. Lantas, bagaimana kalau kepercayaan ini sudah menurun? Kalau kepercayaan tersebut menurun maka penerimaan pajak akan terganggu. Padahal, arus dana pajak yang masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak boleh tersendat karena merupakan andalan utama untuk pembiayaan program kerja Pemerintah. Sebenarnya, apakah wajib pajak puas terhadap kinerja Ditjen Pajak saat ini? Lalu, bagaimana persepsi para wajib pajak terhadap Ditjen Pajak saat ini?

Hasil Survei

Ac Nielsen (2010) melakukan survei tentang indeks kepuasan dari wajib pajak terhadap kinerja Ditjen Pajak. Survei ini bertujuan mengetahui tingkat kepuasan wajib pajak terhadap segala bentuk pelayanan perpajakan yang diberikan Kantor Pajak. Ada enam indikator yang diteliti, yaitu bagaimana citra Ditjen Pajak, tingkat profesionalitas, sistem manajemen informasi, fasilitas yang disediakan, pendukung fasilitas, dan metode perhitungan pajak yang digunakan. Survei dilakukan di seluruh Kantor Pelayanan Pajak di Indonesia yang terdiri dari tiga wilayah utama yaitu wilayah Jakarta, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Maluku.

Hasil survei indeks kepuasan Wajib Pajak Tahun 2010 yaitu 71. Untuk wajib pajak badan atau perusahaan, indeksnya 72, sedangkan wajib pajak orang pribadi 70. Nilai indeks ini apabila dibanding beberapa indeks di negara lain, cukup bersaing. Hong Kong, indeks kepuasan wajib pajaknya mencapai 72, sedangkan Singapura mencapai 75. Di tengah beberapa kasus yang melibatkan oknum pegawai pajak maka nilai indeks kepuasan yang dilansir lembaga independen ini cukup memuaskan. Nilai Indeks tersebut mengindikasikan wajib pajak merasa cukup puas terhadap kinerja Ditjen Pajak saat ini.

Dari enam indikator yang dinilai, ternyata ada dua indikator memiliki indeks kepuasan di atas rata-rata, yaitu indikator tingkat profesionalitas dan indikator fasilitas yang disediakan. Kedua indikator ini bahkan menyamai indikator untuk Australia dan Singapura. Indikator yang mendapatkan indeks kepuasan terendah adalah sistem manajemen informasi, sedangkan indikator citra Ditjen Pajak berada pada nilai rata-rata.

Sistem administrasi perpajakan modern yang diterapkan sejak 2002 terus menunjukkan hasilnya. Dengan sistem ini wajib pajak dilayani petugas khusus atau Account Representative (AR). Kinerja seorang AR akan langsung dikaitkan dengan cerminan tingkat profesionalitas pegawai pajak secara keseluruhan. Mereka ini—ditambah petugas pada desk Tempat Pelayanan Terpadu (TPT)-langsung berhadapan dengan para wajib pajak. Ditjen Pajak tentunya pantas berbangga, karena di tengah deraan badai, mereka tetap bekerja secara profesional. Ini merupakan cara utama untuk tetap memegang kepercayaan masyarakat tersebut.

Ditjen Pajak memiliki ratusan kantor, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari kota-kota besar sampai kota-kota terpencil. Mereka inilah, terutama yang bertugas di daerah terpencil, yang bekerja profesional, berintegritas, dan militan. Tanpa mengenal lelah, mereka harus menempuh ratusan kilometer untuk mencapai kantornya. Bahkan, di antara mereka ini harus mengarungi lautan dan samudera untuk mengemban tugas melayani masyarakat.

Citra

Citra Ditjen Pajak diduga terpuruk akibat pemberitaan yang masif terhadap kasus mafia pajak yang melibatkan oknum pegawai pajak. Tesis tersebut dibantah langsung hasil survei AC Nielsen (2010), yang menyatakan bahwa citra Ditjen Pajak justru tidak memegang peranan penting dalam menentukan tingkat kepuasan Wajib Pajak.

Citra yang dibesarkan oleh media massa sebenarnya berkembang pada jajaran mereka yang belum menjadi wajib pajak. Mereka ini disebut penumpang gelap karena selalu berteriak paling lantang, namun tidak atau belum sama sekali menjalani kewajibannya yaitu membayar pajak. Maka, efek yang ditimbulkanpun hanya bergema dan keras pada lingkungan bukan pembayar pajak saja.

Di lain pihak, pada kelompok pembayar pajak, mereka inilah yang disebut pahlawan bangsa, justru tidak atau sedikit pengaruhnya terhadap keinginan mereka untuk terus melaksanakan kewajibannya. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana tingkat profesionalisme pegawai Ditjen Pajak dalam memberikan pelayanan, bukan citra yang dipersepsikan kalangan bukan pembayar pajak tersebut.

Di lain pihak, pada kelompok pembayar pajak, mereka inilah yang disebut pahlawan bangsa, justru tidak atau sedikit pengaruhnya terhadap keinginan mereka untuk terus melaksanakan kewajibannya. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana tingkat profesionalisme pegawai Ditjen Pajak dalam memberikan pelayanan, bukan citra yang dipersepsikan kalangan bukan pembayar pajak tersebut.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa 62 persen respoden beranggapan bahwa citra Ditjen Pajak sudah cukup baik, sebaliknya hanya 38 persen saja yang menyatakn citra Ditjen Pajak masih buruk. Tingkat kepercayaan mereka terhadap Ditjen Pajak juga masih tergolong tinggi.

sumber: http://sinarharapan.co.id



0 comments:

Post a Comment