rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

28 March 2011

Tantangan Persepsi Pajak

Agenda yang menghangat di bulan Maret-April ini adalah pemenuhan kewajiban perpajakan. Argumentasinya, deadline penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) makin dekat.

Tingkat persepsi pajak kembali diuji. Aspek non-teknis ini tidak dapat disepelekan bagi tegaknya penerapan peraturan dan target perpajakan.

Memasuki medio Maret 2011 berarti telah genap satu tahun sepak terjang institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) disorot publik akibat ulah oknum pegawainya, Citra dan kredibilitas tata kelola pajak menjadi carut-marut. Konsekuensinya, pil pahit itu harus dibayar mahal karena masyarakat baik wajib pajak maupun bukan, tiada henti menghujat institusi yang memiliki semboyan cakti buddhi bhakti itu.

Bukti meraih pulihnya persepsi, Kementerian Keuangan mengkaji penyederhanaan sistem pelaporan dan administrasi pajak yang untuk memperluas dan memeratakan basis pembayar pajak. Pasalnya, selama ini masih didominasi oleh wajib pajak kaya. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan bahwa untuk meningkatkan jumlah pembayar pajak di Indonesia, Ditjen Pajak didorong untuk melakukan ekstensifikasi yang lebih baik. (Bisnis Indonesia, 8/3/2011)

Memulihkan kepercayaan masyarakat kepada institusi DJP merupakan pekerjaan superberat. Dilihat dari kontribusinya terhadap penerimaan negara, perpajakan mampu meningkatkan perannya dari 70,1% pada tahun 2005 menjadi 73% pada 2009. Diharapkan pada 2011 angkanya menjadi 77%.

Mengingat kontribusi dominan pajak pada penerimaan APBN, perlu dilakukan restorasi atas persepsi yang terpuruk itu. Arti kata restorasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengembalian, pemulihan kepada keadaan semua. Merestorasi persepsi pajak bermakna mengembalikan pajak pada tingkat minimal sama dengan kondisi sebelum munculnya kasus pajak.

Dampak dari kasus pajak sebagaimana diakui Dirjen Pajak turut memberikan andil melesetnya target penerimaan pajak. Tahun lalu target penerimaan pajak dipatok Rp661,4 triliun, tetapi realisasinya lebih kecil sekitar Rp649,042 triliun atau hanya mencapai 98,1%. Sedangkan target penerimaan pajak tahun 2011 dinaikkan Rp96,2 triliun atau sekitar 13% dari target penerimaan perpajakan tahun lalu.

Jajaran internal Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak nampak terus bergerak aktif, seakan berusaha melupakan berbagai tuduhan yang kadang tidak semuanya relevan. Berbagai media outdoor, reklame dan spanduk perpajakan bertebaran di berbagai sudut kota. Drop box (kotak pelaporan) di berbagai tempat strategis.

Konstruksi citra pajak sebenarnya pernah menguat. Tahun 2008, Ditjen Pajak tidak masuk lagi dalam daftar institusi yang dinilai paling korup di Indonesia. Pada 2009, Transparency International Indonesia (TII) mengeluarkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang hasilnya menempatkan Indonesia berada di peringkat 111 dari 180 negara. Artinya, skor IPK Indonesia mengalami kenaikan, dari skor 2,6 pada tahun 2008 menjadi 2,8 pada 2009. Sekretaris Jenderal TII Teten Masduki menilai kenaikan skor Indonesia karena usaha Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi dan reformasi di Departemen Keuangan yang dapat dirasakan secara langsung oleh pelaku bisnis, terutama di bidang pajak dan bea cukai.

Dari pelaku usaha, pengakuan tulus datang dari Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi (2009) saat peluncuran reformasi pajak jilid II. Secara jujur dia mengatakan bahwa pengusaha menilai reformasi pajak jilid pertama cukup berhasil dengan didukung bukti penerimaan pajak yang begitu tinggi. Namun perlu terus dilakukan perbaikan SDM-nya.

Terlepas dari kasus yang menimpa, bila dicermati obyektif, DJP beberapa tahun terakhir ini sebenarnya sudah berubah dibanding pada periode sebelumnya. Dalam buku Berkah Modernisasi Pajak (2009) dituliskan puluhan true story para pegawai pajak dalam menghadang godaan KKN di seluruh Indonesia. Ada kisah pegawai yang langsung menolak mentah-mentah amplop berisi uang dari wajib pajak saat ulang tahun kelahiran anaknya karena merasa tidak pantas.

Tertulis pula pegawai pajak yang tidak dapat menunggui anaknya yang sakit hingga meninggal di sebuah kota kecil di Jawa Tengah karena bertugas di sebuah kantor pajak di pelosok Sulawesi. Bahkan ada seorang ibu yang menangis haru saat uang ucapan terima kasihnya karena restitusinya yang milyaran rupiah tidak dipungut biaya sepeser pun ditolak pegawai pajak.

Ada beberapa fakta empiris menguatkan bahwa persepsi pajak dapat dipulihkan dan diraih kembali. Pertama, penerimaan pajak mengalami kenaikan drastis. Pada 2002 penerimaan pajak baru mencapai Rp 176,2 triliun, pada 2005 sebanyak Rp 295,6 triliun, dan pada akhir 2008 penerimaan pajak mencapai Rp 571,1 triliun, 2010 sebesar Rp.649 Triliun lebih. Kalau kita cermati, tren pertumbuhan itu hampir dua kali lipat.

Kedua, jumlah warga negara yang terdaftar menjadi wajib pajak (WP) bertambah signifikan. Bila pada 2002-2004 baru sebanyak 3,2 juta orang, pada 2006 sedikit meningkat menjadi 3,05 juta. Namun, pada 2008 WP menjadi 10,6 juta dan sampai awal 2010 meroket jumlahnya hingga menembus angka 16 juta. Padahal kita akui, tidak sembarangan orang mau ditetapkan sebagai WP.

Ketiga, manajemen sumber daya manusia. Pengelolaan SDM ini memang harus dioptimalkan kembali. SDM di Ditjen Pajak itu 32 ribu lebih belum lagi ditambah yang baru. Artinya, setengah kekuatan di Kementerian Keuangan ada di Pajak karena di Kemenkeu ada 64 ribu, 32 ribunya di Ditjen Pajak. SDM inilah yang perlu diperbaiki mulai dari perekrutan, pembinaan, pelatihan dan aspek pengawasannya.

Saatnya Pembuktian

Meminjam istilah Mar’ie Muhammad (2006), mantan Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan disebutkan bahwa penerimaan pajak dari Ditjen Pajak sangat didominasi oleh pembayar pajak besar. Hal ini merupakan titik rawan yang membahayakan fiscal sustainability. Seribu pembayar pajak terbesar memberikan kontribusi 61 persen dari total penerimaan pajak. Fakta ini sudah berlangsung selama dua dekade, jadi intensifikasi lebih berjalan daripada ekstensifikasi.

Tampilnya A.Fuad Rahmany sebagai Dirjen Pajak memunculkan harapan baru untuk menguak berbagai emiten yang terlibat kasus mafia pajak. Sebab, dia berpengalaman mengawasi pasar modal dan Lembaga Keuangan. Pun, tidak ada beban psikologis untuk melakukan pembinaan internal sistem terhadap jajaran pegawainya dengan melakukan perbaikan terhadap kelemahan prosedur selama ini. Bahkan, oleh sejumlah pihak dianggap business friendly.

Francis Fukuyama yang menempatkan trust atau ‘percaya’ sebagai modal sosial penentu keberadaban bangsa. Sikap percaya itu ditunjukkan dalam bentuk program drop box, self assessment dalam penghitungan pajak dan sebagainya. Semua ini untuk menumbuhkan kembali persepsi publik terhadap eksistensi pajak.

Harapan kita, institusi pajak menjadikan momentum Maret-April ini sebagai entry point meraih kepercayaan wajib pajak. Caranya, dengan mendorong ratusan kantor pelayanan pajak se-Indonesia berjuang keras memenuhi standar operating procedure yang digariskan. Kalau aparat dari institusi plat merah itu membuktikan tekad baiknya, kita harus fair dan adil meresponnya. Setiap ikhtiar mewujudkan kebaikan pasti ada kendala yang menghadang, segenap insan pajak ayo saatnya membuktikan bahwa masih ada harapan yang terang bagi reformasi perpajakan.

Kita tunggu mereka mewujudkan komitmennya. The real representative of the people is the people itself.***

http://www.analisadaily.com

0 comments:

Post a Comment