rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

27 March 2010

Pokok Pokok Perubahan UU PPN No.42 Tahun 2009

Berikut Pokok Perubahan UU PPN No 42 Tahun 2009 yang mulai berlaku tanggal 01 April 2010

1. Objek Pajak

Ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

Undang-undang PPN yang saat ini berlaku hanya mengenal ekspor BKP. Ke depan, guna menetralkan pembebanan PPN dan menambah daya saing untuk kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud akan dikenakan PPN dengan tarif 0%.

2. Bukan Objek

a. Penyerahan Barang Kena Pajak dalam Rangka Restrukturisasi Usaha

Untuk membantu cash flow perusahaan dan memberikan kemudahan administrasi, maka pengalihan BKP yang dilakukan dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, akan tidak dikenakan PPN, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.

b. Penetapan Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN

Untuk lebih memberikan kepastian hukum, penetapan barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN yang selama ini diatur dengan peraturan pemerintah dinaikan menjadi batang tubuh undang-undang.

c. Daging, Telur, Susu, Sayur-sayuran dan Buah-buahan

Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan cara membantu tersedianya sumber gizi yang harganya terjangkau maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah-buahan segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.

d. Barang dan Jasa yang Telah Dikenakan Pajak Daerah

Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama maka objek-objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN, yaitu:

1) barang hasil pertambangan galian C UU PDRD;

2) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya;

3) jasa perhotelan; dan

4) jasa boga/katering.

e. Jasa Keuangan

Untuk memberikan perlakuan yang sama, jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk perbankan syariah, ditetapkan sebagai bukan JKP, sehingga atas penyerahannya tidak dikenakan PPN. Dengan demikian, tidak ada perbedaan perlakuan PPN bagi Wajib Pajak yang berbeda status tetapi melakukan kegiatan usaha yang sama.

f. Pasokan Barang Hasil Pertambangan Umum sebagai Bahan Baku untuk Industri Energi Dalam Negeri

Untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri energi dalam negeri, barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya, termasuk batubara, tetap dikategorikan sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.

3. Faktur Pajak dan Saat Pembuatannya

Beberapa hal berkenaan dengan penerbitan Faktur Pajak diberikan kemudahan, kesederhanaan dan kepastian hukum dalam RUU PPN ini, yaitu:

a. Hanya akan dikenal satu jenis Faktur Pajak. Tidak ada lagi Faktur Pajak Standar dan Faktur Pajak Sederhana.

b. Faktur Pajak yang tidak diisi lengkap dengan informasi mengenai:

1) identitas pembeli, atau

2) identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan (untuk penyerahan oleh pedagang eceran);

tidak dikenai sanksi administrasi.

c. Saat Pembuatan Faktur Pajak

Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Dengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.

4. Pengkreditan Pajak Masukan

a. Untuk mencegah penggunaan Faktur Pajak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dalam UU PPN yang baru dipertegas bahwa selain pemenuhan syarat formal Faktur Pajak, maka suatu Pajak Masukan untuk dapat dikreditkan harus juga memenuhi syarat material, yaitu adanya penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan yang tercantum dalam Faktur Pajak.

b. Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas pembelian barang modal.

c. Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha yang bersangkutan ternyata gagal berproduksi maka atas PPN yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembaliannya wajib dibayar kembali.

5. .Deemed Pajak Masukan

Untuk lebih memberikan kepastian hukum dan memberikan kemudahan kepada Pengusaha Kena Pajak tertentu yang mengalami kesulitan mengikuti mekanisme PK-PM secara normal, atau mengalami kesulitan dalam menghitung PPN yang harus dibayar, misalnya Pedagang Eceran atau petani kecil, maka dalam dalam UU PPN yang baru diatur mengenai penggunaan deemed Pajak Masukan, yaitu pedoman untuk menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak berdasarkan:

a. jumlah peredaran usaha/omset;

b. sektor/kegiatan usaha tertentu.

6. Retur/Pengembalian Jasa Kena Pajak

Agar paralel dengan perlakuan PPN untuk retur/pengembalian Barang Kena Pajak, dalam UU PPN yang baru diatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya.

7. Saat Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa PPN

Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam UU KUP, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

8. Restitusi dan Pengembalian Pendahuluan

a. Restitusi (umum)

Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak.

b. Restitusi untuk Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri

Dengan pertimbangan bahwa barang bawaan yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang asing yang bukan penduduk Indonesia merupakan barang yang akan dikonsumsi di luar negeri dan untuk menarik wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia, maka PPN dan PPn BM yang dibayar oleh orang asing tersebut atas barang-barang yang dibawanya ke luar negeri diberikan pengembalian. Oleh karena itu, dalam RUU PPN diatur pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri, dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp 500 ribu.

c. Pengembalian Pendahuluan

1) Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya berdasarkan self assessment, Wajib Pajak tertentu yang memiliki risiko rendah dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian apabila diperlukan.

2) Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) per bulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.

9. Pemusatan Tempat PPN Terutang

Dalam rangka mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, dalam UU PPN yang baru diberikan kemudahan prosedur penetapan pemusatan tempat terutang, yaitu cukup dengan melakukan pemberitahuan (bukan lagi permohonan) secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.

10. Pajak Penjualan atas Barang Mewah

a. Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka tarif tertinggi PPn BM dinaikkan dari 75% menjadi 200%. Tarif PPnBM tertinggi sebesar 200% ini hanya akan diterapkan apabila benar-benar diperlukan.

b. Barang yang apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan masyarakat dan moral masyarakat, serta mengangu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol, tidak lagi dikategorikan sebagai barang mewah, karena lebih tepat untuk dikategorikan sebagai barang yang dikenakan cukai.

11. Fasilitas Perpajakan

Untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan yang belum diatur dalam Undang-Undang antara lain untuk:

a. perwakilan negara asing/badan-badan internasional;

b. impor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai pinjaman/hibah/bantuan luar negeri;

c. listrik dan air;

d. kegiatan penanggulangan bencana alam nasional;

e. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi;

f. bahan baku kerajinan perak.

12. Tanggung Renteng

Pengaturan mengenai tanggung renteng Pajak Pertambahan Nilai—yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sampai dengan perubahan kedua atas Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, dan kemudian dihapus dari UU KUP yang baru karena merupakan pengaturan material—diatur kembali dalam UU PPN yang baru mengingat ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.


2 comments:

Sucipto Ismail said...

ruarrr biasa, sangat membantu masyarakat memahami pajak

Hari Murti said...

ada dosen PPN yg mau komen.., nuhuuun...

Post a Comment